Tulisan
ini adalah bersifat opini pribadi saya dan tidak mewakili siapapun dan
boleh jadi tulisan ini mengada-ada namun semua saya serahkan kepada para
pembaca untuk menilainya. Tulisan inipun telah saya publikasikan di
Akun Fb saya tertanggal 18 Desember 2011 dan Kompasiana 24 Desember 2012. Ini hanya sebahagian dan untuk
selengkapnya silahkan updet fb-nya. ( Daftar pustaka: Berbagai Sumber )
Arifin
Panigoro dan Aburizal Bakrie alias Ical adalah dua pengusaha yang
tumbuh besar sejak Soeharto membentuk Tim Keppres 10, 23 Januari 1980.
Tim itu diketuai oleh mendiang Sudharmono dan Ginanjar Kartasasmita
duduk sebagai salah satu anggota tim. Oleh presiden Soeharto pembentukan
tim itu dimaksudkan untuk menumbuhkan pengusaha pribumi dengan antara
lain mengalokasikan sejumlah proyek nondepartemen bernilai di atas Rp
500.000.000 ( sekarang nilainya Rp. 500 milyar )
Sekretariat
Negara di bawah Sudharmono kala itu ditunjuk sebagai penanggungjawab
keberhasilan program. Lewat tim itulah sejumlah pengusaha muda pribumi
kemudian banyak mendapat prioritas. Ical, Arifin P, Jusuf Kalla, Iman
Taufik, Fadel Muhammad, dan Agus Kartasasmita adalah beberapa pengusaha
yang banyak “berhubungan” dengan Tim Keppres 10.
Hubungan mereka dengan Sudharmono dan Ginanjar, sejak itu lantas menjadi
seperti hubungan bapak-anak. Sudharmono mengenal mereka sebagai
pengusaha-pengusaha pribumi yang profesional, sementara para pengusaha
itu menganggap Sudharmono sebagai tokoh yang bersih, kendati loyal
kepada Soeharto dan berada di lingkaran kekuasaan.
Kini,
dua dari pengusaha yang disusui oleh Orde Baru itu yakni Ical dan
Arifin terlibat perseteruan panjang. Arifin adalah salah satu raja
minyak yang cukup terkenal terutama sejak reformasi dan Ical adalah
salah satu orang terkaya di Indonesia.
Arifin
pemilik kerajaan bisnis Grup Medco dan Ical pemilik kerajaan bisnis
Grup Bakrie. November tahun 2010, Arifin gagal menjual salah satu anak
bisnisnya ke Pertamina karena konon terutama karena Golkar yang
dikendalikan Ical menjegal rencana penjualan itu melalui orang-orangnya
di Senayan.
Tapi itu hanya titik kecil dari perseteruan keduanya. Sebagian orang
tahu, Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie sudah saling meradang sejak
kedua keluarga itu tidak bersepakat soal tanggungjawab dalam kasus
luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Medco E&P Brantas
anak perusahaan dari PT MedcoEnergi, dulu memang pernah menjadi peserta
[participating interest] eksplorasi dan pengeboran Lapindo. Perusahaan
itu mengantongi 32% saham di PT Energi Mega Persada Tbk. salah satu
sayap bisnis Grup Bakrie dan pemilik Lapindo Brantas Inc. Perusahaan
kontraktor kontrak kerjasama yang ditunjuk BP Migas melakukan pengeboran
minyak dan gas bumi di tepi Sungai Brantas. Tapi entah kenapa, 29 Mei
2006 Medco kemudian menarik diri setelah bencana lumpur itu menyebur di
Sidoarjo.
Akibat
sikap Medco [Arifin] yang seperti itu, Nirwan Bakrie [adik Ical] CEO
Lapindo Brantas Inc. konon berang. Nirwan bahkan disebut-sebut sempat
mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh kepada Hilmi Panigoro, adik
Arifin. Sejak itu hubungan dua keluarga pengusaha itu, dikabarkan terus
memburuk. Apalagi hingga sekarang, Grup Bakrie yang harus menanggung
sendiri semua risiko akibat luapan lumpur Lapindo itu.
Arifin
yang sudah “keluar” dari dunia politik kemudian seperti menyepi. Nyaris
tidak ada suaranya, meski dia tentu saja masih ikut mengendalikan dari
balik layar sejumlah manuver politik. Adapun Ical, terus moncer dan
sebagian orang, kini menyebutnya sebagai “the real of president 2014.”
Dan ini telah direkomendasikan oleh Payung kuning yg dinahkodainya.
Hubungan
dua keluarga pengusaha itu semakin renggang, ketika Sri Mulyani
Indrawati sering bertabrakan dengan Ical ketika keduanya masih menjadi
menteri di kabinet pemerintahan SBY-JK. Sri Mulyani, sejauh ini memang
dikenal “lebih dekat” ke Arifin ketimbang misalnya ke Ical.
Beberapa
keputusan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, antara lain untuk kasus
saham PT Bumi Resources Tbk. awal November 2008 lalu, dituding oleh
kelompok Ical, sebagai bagian dari manuver Arifin. Sebuah tudingan yang
niscaya dianggap lelucon oleh Arifin dan juga Sri Mulyani.
Kini,
hubungan dua keluarga pengusaha superkaya itu tampak seperti tak bisa
direkatkan, setelah Arifin dkk. membiayai penyelenggaraan Liga Primer
Indonesia ( LPI ). Hak siar kompetisi ini dikantongi oleh stasiun
televisi Indosiar [Grup Salim], sementara hak siar Liga Super [tentu
saja] dipegang stasiun ANTV [Grup Bakrie].
Prestasi sepakbola di era Nurdin Halid selama 8 tahun yang dianggap tak membaik bahkan
cenderung memburuk ditutupi dengan riuh -
rendahnya Liga yang digulirkan, kemudian muncullah gagasan seorang
Presiden SBY tentang Kongres Sepakbola Nasional. Di titik inilah
harusnya momentum perbaikan sepakbola Indonesia dilakukan yang entah
karena apa tidak terlaksana.
Tentu saja Liga Super bukan sekadar sebuah kompetisi sepakbola yang
dimasudkan untuk “menantang” Liga Super yang digelar oleh PSSI, tak pula
ditujukan untuk misalnya memberikan kebebasan kepada pemain sepakbola
memilih arena bertanding yang mereka sukai, seperti wartawan yang bebas
memilih induk organisasi profesi.
Liga
Primer seharusnya juga dibaca sebagai mesiu politik yang lain dari
Arifin yang diarahkan kepada Ical. Tidakkah Nirwan Bakrie adalah Wakil
Ketua Umum PSSI?
Keluarga Bakrie katanya, penggila olahraga. Ical dikenal sebagai jago
tenis, dan Nirwan walaupun tidak bisa bermain sepakbola, dikenal sebagai
penggila olahraga paling popular di dunia itu.
Keluarga
Bakrie tentu saja melalui kelompok bisnisnya bahkan telah mengakuisisi
20 persen saham klub sepakbola Leicester Inggris meski selanjutnya
melepasnya kemudian membeli Cs. Vise Belgia dan Brisbane Roar club asal
Austarlia. Keluarga itu, disebut-sebut telah memberikan hadiah Rp 3
miliar kepada pemain Timnas. Demikian pula, sejumlah pemain sepakbola
PSSI telah disekolahkan ke Uruguay dengan dukungan dana sepenunya dari
Keluarga Bakrie. Memang ada salahnya jika beberapa pengamat sepak bolah
beranggapan bahwa PSSI era nurdin tidak memperhatikan pembinaan usia
dini.
Bagaimana
dengan Nurdin? Ketua Umum PSSI itu suatu hari pernah berkata:
“Keberhasilan Timnas [di ajang AFF] adalah berkat pengorbanan besar
keluarga Bakrie, terutama Nirwan.” Benar, Nurdin memang orang dekat
Keluarga Bakrie. Blunder AFF 2010 yang menyebabkan Rezim Nurdin dan
Nirwan itu terguncang, kalaulah saja tidak ada ucapan terima kasih
kepada parpol tertentu dari mulut ketua PSSI saat itu dan kalau saja
Team Nasional PSSI saat itu menjadi Juara AFF, entah apa selanjutnya.
Tapi itu hanyalah segelintir kekecewaan orang disekeliling Nurdin dan
Nirwan padahal sesungguhnya manufer itu telah terjalin dari sabang
sampai marauke dimana skenario sesungguhnya terletak di tangan Saleh
Mukaddar mantan pengurus PSSI era nurdin yang dikenai etika disiplin
yang kini mendekati Arifin P.
Nurdin
selain sebagai Ketua Umum PSSI, dia dikenal pula sebagai politisi
Partai Golkar dan Ketua Dewan Koperasi Indonesia alias Dekopin. Tahun
2004-2009, dia terpilih sebagai ketua Dekopin menyusul rekonsiliasi
faksi-faksi di organisasi koperasi itu yang difasilitasi oleh Menteri
Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan [Partai Demokrat]. Dia pula pernah
menjadi narapidana kasus korupsi Meskipun akhirnya bebas karena bukti
yang kurang kuat. Nama Nurdin juga disebut-sebut oleh Hamka Yamdu [salah
satu narapidana kasus suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi
senior BI 2004] ikut menerima cek perjalanan sebanyak 10 lembar dengan
nilai Rp 500 juta. Hamka mengungkapkan keterlibatan Nurdin, ketika dia
memberikan kesaksisan dalam sidang di Pengadilan Tikipikor, Jakarta, 27
April lalu.
Nurdin
Halid terpilih menjadi ketua umu PSSI periode 2003-2007 dalam kongres
PSSI di hotel Indonesia, Jakarta, selasa 21 oktober 2003 menggantikan
Agum Gumelar . Ia meraih 183 suara dalam pemilihan putaran kedua, unggul
atas Jacob Nuwawea, Padahal ketika itu Nurdin jadi tersangka dalam
kasus dugaan korupsi dana koperasi distribusi indonesia ( KDI ). Malam
saat itu, Nurdin dengan tegar mengatakan ” Ketika kapal ( Phinisi )
berlayar, pantang surut sebelum sampai tujuan.
Kondisi
serupa terulang pada saat dirinya dipanggil polisi dalam kaitan kasus
gula impor ilegal, Nurdin malah terpilih menjadi ketua Dekopin ( Dewan
Koperasi Indonesia ) periode 2004-2009 dalam munas dekopin ke 57 di
hotel Aryaduta, Jakarta 15 Juli 2004.
Lalu
sehari kemudian 16 juli 2004 ia memenuhi panggilan polisi dan
ditetapkan sebagai Tersangka kasus gula infor ilegal dan ditangkap. Ia
dituduh bertanggung jawab atas imfor gula ilegal tersebut. Ia kemudian
juga ditahan atas dugaan korupsi dalam kasus distribusi minyak goreng.
Namun dengan kehebatan dan dukungan dari rekannya di PSSI ia mampu
mengendalikan PSSI dengan mengangkat Agusman Effendi sebagai pelaksan
tugas ketua umum 22 oktober 2004. Hampir setahun kemudian tanggal 16
juni 2005, dia dinyatakan tidak bersalah dan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta selatan di bebaskan. Ia kemudian kembali dituntut dalam kasus
gula imfor pada September 2005, namun dakwaan terhadapnya di tolak
majelis hakim pada 15 desember 2005 karena berita acara pemeriksaan (
BAP ) perkaranya cacat hukum. Ia juga dituduh melanggar ke Pabeanan
impor beras dari Vietnam dan divonis 2 tahun 6 bulan penjara pada 9
Agustus 2005 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan tanggal 17 Agustus
2006 ia dibebaskan setelah mendapat remisi dari pemerintah. Dan
al-hasil 20 April 2007 Nurdin kembali terpilih menjadi ketua PSSI pride
2007-2011.
Pada
13 September 2007 Ia kembali divonis dua tahun penjara dalam kasus
pengadaan minyak goreng . Mahkamah Agung (MA) memvonis Nurdin dengan
hukuman dua tahun penjara yang membatalkan putusan PN Jaksel pada 16
juni 2005 silam.
Berdasarkan
standar statuta FIFA seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat
sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional. Karena alasan
tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihak. Jusuf Kalla
(Wakil Presiden RI saat itu), Ketua KONI dan bahkan FIFA menekan Nurdin
untuk mundur. FIFA bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI
jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum.
Dalam Situr resmi Fifa tertanggal 29 oktober 2009. Berikut adalah petikan rilis FIFA tersebut:
FIFA
sent a letter to the Football Association of Indonesia (PSSI) in June
2007 indicating that the association must reorganise elections, as the
electoral process that took place on 20 April 2007 - the day after the
ratification of the updated statutes - was not conducted in line with
the timelines stipulated in the PSSI statutes. The committee ratified
this decision and also decided that in accordance with the statutes, a
person who has been convicted of a crime and is currently in prison
would not be eligible to stand for election.
FIFA telah mengirim surat kepada PSSI pada Juni 2007 yang
mengindikasikan bahwa PSSI harus mengulangi pemilihan (Ketua Umum PSSI),
karena proses pemilihan yang dilakukan pada 20 April 2007 (sehari
setelah ratifikasi perubahan statuta) tidak dilaksanakan sesuai dengan
garis waktu yang diatur di Statuta PSSI. Komite meratifikasi keputusan
ini dan juga memutuskan bahwa sesuai dengan statuta, seseorang yang
sudah diputuskan bersalah atas tindak pidana dan sedang dipenjara tidak
boleh mengikuti pemilihan.
Akan
tetapi Nurdin bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai
ketua PSSI, dan tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji
penjara. Agar tidak melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum
yang sebelumnya berbunyi “harus tidak pernah terlibat dalam kasus
kriminal” (bahasa Inggris: “They…, must not have been previously found
guilty of a criminal offense….”) diubah dengan menghapuskan kata
“pernah” (bahasa Inggris : “have been previously”) sehingga artinya
menjadi “harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan
kriminal” (bahasa Inggris : “… must not found guilty of a criminal
offense…”). sampai masa tahanannya berakhir , Nurdin dibebaskan pada
Novenber 2008 dan kembali menjabat sebagai ketua umum PSSI.
Keputusan
FIFA tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh PSSI dan malah pada April
2009, PSSI menggelar Munaslub di Ancol, Jakarta, dan melanggengkan
kekuasaan Nurdin hingga tahun 2011. FIFA memberikan persetujuan melalui
Direktur Asosiasi dan Pengembangan FIFA Thierry Regenass yang hadir di
Munaslub tersebut. Mungkin bagi pihak nurdin ini adalah persetujuan FIFA
namun oleh kelompok yang berseberangan pasti mengatakan ini adalah
rekayasa. Kebenaran dan kesalahan kita yakini itu adalah konsekwensi
dari kelompok yang berseturu yang tentu satunya mengatakan benar dan
yang satunya lagi mengatakan salah.
Nurdin,
Nirwan dan Andi Darussalam Tabusalla adalah Tiga Serangkai yang tidak
terpisahkan di PSSI. Nurdin ketua, Nirwan wakil, dan Andi Direktur Badan
Liga Indonesia. Orang penting lainnya di PSSI adalah Berhard Limbong
[Ketua Induk Koperasi Angkatan Darat atau Inkopad] yang sekarang ini
menjadi penaggung jawab Timna s U23, dan Ibnu Munzir [Wakil Ketua Fraksi
Golkar di DPR].
September tahun 2010 lalu, Andi pernah menantang Arifin Panigoro. Kata
Andi, “kalau Arifin membuktikan janji menyuntikkan dana Rp 540 miliar
kepada 18 klub peserta Liga Super Indonesia, dia akan menyerahkan
jabatannya sebagai direktur penyelenggaran liga di Indonesia kepada
Arifin. Silakan kucurkan uang itu ke Escrow Account masing-masing klub,
maka pengelolaan BLI akan kami serahkan kepada beliau. Tak perlu
repot-repot membuat kompetisi tandingan,” begitulah kata Andi.
Namun
hal itu tak digubris oleh Arifin dan bahkan lebih cenderung untuk
membuat liga tandingan ketimbang menerima tawaran itu. Ini sebenarntya
sebagai salah satu bukti ketidak seriusan Arifin membangkitkan sebak
bola indonesia karena memang orientasi kepentingan dan dendam yang akan
lebih ditonjolkan.
Corak
marut Persepak bolaan tanah air ini terbukti mulai terasa ketika
kelompok Arifin CS membuat Club-Club dadakan untuk berkompetisi diajang
Liga Baru yang disebutnya Liga Profesional dengan nama Liga Prima
Indonesia ( LPI ), dibiayai oleh satu sponsor yaitu yg disebut
konsorsium tanpa mengandalkan dana dari APBD.
Awal
Pelaksanaan Liga Primer Indonesia ( LPI ) yang dibentuk AriFin P cs,
PSSI menganggap pergelaran liga itu ilegal, karena katanya tidak
direstui FIFA, AFC dan tentu saja oleh PSSI. Kontan saja tendangan
selanjutnya adalah teriakan-teriakan agar Ketua Umum PSSI Nurdin Halid
mundur dari jabatannya, dan kabar tentang pencoren ditimnas Irfan
Bachdim pemain Persema Malang yang berlaga di Liga Primer. Lalu benarkah
semua tendangan “bola” itu hanya akan berhenti pada persoalan Liga
Primer, Liga Super, Nurdin dan PSSI, atau itukah karena yang tak lain
dendam kesumat dari Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie?
Sadar
bahwa kekuasaan mulai digoyang, PSSI mulai merancang skema pengamanan
dimulai dengan Kongres Tahunan 2010 di Bali yang beberapa keputusannya
adalah bom waktu yang disimpan untuk meledak pada waktunya ( pembagian
saham 99% club Sementara PSSI 1 %, soal operator liga yang dinahkodai PT
Liga, Soal 18 peserta Liga Super , dll )
Marilah
tengok Liga Primer Indonesia yang dimulai 8 Januari 2011. Penyelanggara
liga ini dikabarkan juga telah mendekati PT Djarum, produsen rokok yang
dikendalikan oleh Keluarga Hartono [pemilik BCA]. Djarum sejauh ini
dikenal sebagai penyokong utama Liga Super [PSSI] dan disebut-sebut
telah menghabiskan sekitar US $ 5 juta per tahun untuk kompetesi Liga
Super. LPI selanjutnya gagal dalam pendekatan tersebut.
19 klub yang berlaga di liga tersebut. Yaitu Aceh United, Bali De Vata,
Bandung FC, Batavia Union, Bogor Raya, Cendrawasih Papua, Jakarta 1928,
Kabau Padang, Ksatria XI Solo, PSM Makassar, Manado United, Medan
Chiefs, Medan Bintang, Persebaya, Persema, Persibo [Bojonegoro], Real
Mataram, Semarang United dan Tangerang Wolves. Hanya ada 3 tim yang
mapan yaitu PSM, Persebaya dan Persema, yang lainnya hasil Sulapan
Arifin P dengan mengatas namakan konsorsium membeli club-club tersebut
termasuk ketiganya.
Beberapa pemilik klub [politik] sepakbola :
Persema, klub tempat Irfan Bachdim bermain, sebelumnya dimiliki oleh PT
Bentoel Investama. Klub ini sempat diambilalih oleh Peter Sondakh dan
kini dikendalikan oleh Walikota Malang, Peni Suparto [politisi PDI-P].
Lalu Persibo Bojonegoro diketuai oleh Suyoto, Bupati Bojonegoro, yang
juga ketua Partai Amanat Nasional Jawa Timur. Semarang United
dikendalikan oleh Kukrit Suryo Wicaksono, CEO Grup Suara Merdeka,
kelompok media terbesar di Jawa Tengah.
Adapun
Arifin, tahun lalu telah mengakuisisi PT Pengelola Persebaya Indonesia,
pemilik klub sepakbola Persebaya Surabaya, Jawa Timur tahun lalu. PT
Pengelola Persebaya-pun menyediakan Rp75 miliar untuk Persebaya.
Kemudian Persija yg nyata dimilki oleh Fery paulus kini diklaim milik
hadi basalamah, sementara itu PSM yg dimotori oleh Ilham AS memilih
mundur dari ISL lantaran dendam kesumah pada Bakrie yg mendepaknya dari
ketua DPD partai golkar sulsel. Melalui Nurdin Halid, Ical Bakrie lebih
memilih Syahrul Ketimbang Ilham. Spontan Ilham naik pitam. Bahkan ketika
nurdin halid memberi sangsi PSM turun kedevisi 1 ilham berkata ” Tunggu
saatnya Nurdin akan bermasalah besar “. Ilham terpilih menjadi Ketua
Partai Demokrat Sulsel, dengan mendekati menteri pemuda dan olahraga yg
tak lain adalah salah satu Ketu DPP partai Demokrat turut menghujat
Nurdin Halid dan Kawan kawan di PSSI dan alangkah Bobroknya Seorang
Menteri juga mendukung LPI yg nyata bukan Liga profesional kala itu
hanya sebagai liga balas dendam, dan boleh dikatakan konsep LPI yang
mengandalkan dana Satu sponsor ( Dana Konsorsium ) itu gagal total, Sepi
Penonton dan bahkan merugi, olehnya untuk mengembalikan sejumlah dana
yang Milyaran Rupiah jumlahmya jalan satu-satunya adalah menguasai ISL
di PSSI. Kelompok LPI ini menggalang kekuatan didaerah-daerah pemilik
suara sah di tubuh PSSI dengan membentuk kelompok yang dinamainya K78.
Kemenangan
awal yg diperoleh kelompok LPI ketika dibekukannya PSSI oleh Menpora (
Alfian Mallarangeng ). Selanjutnya kantor PSSI disegel oleh pemerintah
dalam hal ini Menpora. Kelompok Nurdin Halid, Nirwan Bakrie Bahkan
Nugraha Besus kini hijrah ke tempat bernaungan Andi Darusalam di PT. LI .
Ini berawal ketika Pada kongres yg rencana dijalankan dg mulus oleh
PSSI di Pekanbaru kini berakhir ricuh dan bahkan k78 mendobrak pintu dan
membuat kongres sendiri yg menetapkan George Toisuta dan aripin P
sebaga calon ketua dan wakil ketua PSSI priode 2011-2015. Oleh Menpora
ia melimpahkan semua kesalahan ini kepada Nurdin CS.
Tangga
1 April 2011 FIFA memutuskan pembentuk Komite Normalisasi untuk
mengambil alih kepengurusan Nurdin Halid di PSSI. Keputusan ini
dipublikasikan di situs resmi FIFA pada tanggal 4 April. Komite ini
dipimpin oleh Agum Gumelar dan dibantu tujuh anggota, yakni Djoko
Drijono (CEO BLI), Hadi Rudiatmo (Ketua Persis Solo), Sukawi Sutarip
(Ketua Pengprov PSSI Jawa Tengah), Siti Nuzanah (Direktur Arema), Samsul
Ashar (Ketua Persik Kediri), H. Satim Sofyan (Ketua Pengprov PSSI
Banten), Dityo Pramono (Ketua PSPS Pekanbaru). Lima nama terakhir
merupakan anggota Kelompok 78. FIFA juga melarang empat nama yakni,
Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisuta untuk
maju pada pemilihan pengurus PSSI,
Tugas Komite Normalisasi :
- Mengatur pelaksanaan pemilihan pengurus baru PSSI periode 2011-2015 paling lambat 21 Mei.
- Menempatkan Liga Primer Indonesia di bawah kendali PSSI atau membubarkannya.
- Menjalankan tugas keseharian PSSI.
Di
Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (20/5). Kongres PSSI oleh Komite
Normalisasi resmi di buka oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi
Mallarangeng, yang berujung pada penghentian Kongres. Anggota Komite
Normalisasi Hadi Rudyatmo menilai kelompok 78 pendukung George Toisutta
dan Arifin Panigoro telah mempermalukan bangsa dan negara di hadapan
masyarakat sepak bola dunia. Menurutnya, tindakan kelompok 78 dalam
Kongres PSSI kemarin jauh lebih memalukan dibanding gerakan pendukung
Nurdin Halid, beberapa waktu lalu. “Komite Normalisasi tidak sanggup
menormalkan mereka,” kata Rudy, demikian panggilan akrabnya saat ditemui
di kediamannya, Sabtu, 21 Mei 2011 oleh berbagai media. dia menyebut
jika kelompok itu tidak memiliki itikad baik serta etika dalam
persidangan. Sebab, kelompok tersebut terlalu memaksakan kehendak dan
tidak bisa menghormati pimpinan sidang ( Agum Gumelar ) yang bahkan
menunjuk-nunjuk, berkata kau dan anda kepada pak Agum. Sungguh memalukan
etika semacam ini. ”Sangat disayangkan Kongres dihentikan dan tanpa
hasil,” kekisruhan ini terjadi ketika kelompok 78 memprotes keras bapak
Agum Gumelar sebagai ketua komite yang tidak meloloskan George Toisuta
dan Arifin P sebagai Calon ketua dan wakil ketua PSSI Priode 2011-2015.
Dengan kejadian itu berbagai sumberpun bermunculan tentang berita akan
sangsi FIFA untuk tidak memperbolehkan Timnas serta club-club tanah air
berlaga di kancah internasional. Dengan harap cemas sebagian masyarakat
pencinta bola tanah air akan suspen atau sangsi FIFA atas kejadian
itupun tak menjadi kenyataan ketika pak agum melakukan pendekatan kepda
pihak FIFA di Surich Swis.
Melalui
kelompok 78, kelompok LPI yg dimotori Arifin P yg meski di ditolak oleh
FIFA menjadi calon ketua PSSI lantaran terjadinya kekacauan pada
kongres yg dilaksanakan di Pekan Baru-Riau dan Jakarta yang di
laksanakan oleh PSSI era Nurdin Halid, tetap bersikukuh untuk menguasai
PSSI. Dengan menjadikan Prof. Djohar A.H sebagai calon ketua umum PSSi .
Maka
Djohar Arifin Husin berhasil merebut ketua umum PSSI setelah dalam
pemungutan suara pada Kongres Luar biasa (KLB) PSSI di Solo yang
dilaksanakan oleh Ketua Normalisasi Agum Gumelar dan Timnya, Jateng,
Sabtu (9/7), Dia memperoleh 61 suara dari 100 suara yang diperebutkan.
Sedangkan Agusman Efendi, hanya 38 suara.
Dari 100 surat suara yang dikumpulkan, 99 suara sah dan satu suara tidak
sah karena memilih nama di luar dua kandidat yang dijagokan.
Sebelumnya, Djohar Arifin memimpin putaran pertama pemilihan Ketua Umum
PSSI Ia meraih 53 suara, sedangkan Agusman Efendi 39 suara. ini belum
bisa memuluskan langkah mantan staf ahli Menpora menjadi ketua karena
belum memenuhi 67 persen total suara.
Djohar kemudian bertarung kembali pada putaran kedua bersama Agusman
Effendi yang memperoleh 39 suara. Sedangkan satu calon Japto
Soerjosoemarno yang memperoleh 4 suara juga lolos ke putaran kedua,
namun memilih mengundurkan diri.
Dibagian
lain setelah pemilihan ketua kini giliran Farid Rahman akhirnya
terpilih sebagai wakil ketua umum PSSI periode 2011-2015. Farid Rahman
berhasil menyingkirkan Erwin Aksa dalam pemilihan dua putaran tersebut.
Pada putaran pertama, Erwin Aksa sebenarnya berhasil memimpin dengan
perolehan 51 suara mengalahkan Farid yang mengoleksi 47 suara. Sedangkan
satu kandidat lainnya, Rahim Sukasah mengantongi 1 suara dari total 99
suara.
Ini adalah kemenangan besar yang kedua diperoleh kelompok LPI dimana dua
sosok pemegang tampuk kekuasaan di tubuh PSSI adalah titipan LPI melalu
kelompok 78 dan kemenangan ini akan berlanjut sampai tuntas.
Dengan
menyertai semangat yang berkobar, Gonjang ganjing diperhelatan sepak
bola tanah air ini pun berlanjut dan telah menjadi sorotan publik yg tak
lain terbentuknya dua lisme kompetisi di tubuh PSSI. Hampir semua
pencinta bola tanah air mungkin tahu keberadaan IPL ( Dulu LPI ) yang
kini menjadi Legal karena para punggawa LPI memegang tampuk kekuasaan di
PSSI era ini
sementara ISL yg dulu adalah Legal di Era Nurdin Halid, Nirwan Bakrie
dan A. Darussalam T kini tersingkirkan dan bahkan dianggap tidak legal.
Ini konsekwensi dari suatu kompetisi kepempinan apabila didalamnya
tertanam jiwa kepentingan kelompok semata tanpa memikirkan baik atau
buruknya dimata masyaralkat.
Ada
satu amanat FIFA yg sengaja disimpan menjadi bom waktu yaitu soal
normalisasi kompetisi di Indonesia pasca munculnya Liga Primer
Indonesia. Komite Normalisasi hanya fokus pada bagaimana memilih ketua
PSSI, padahal ada amanah besar yang juga harus diselesaikan yaitu soal
normalisasi kompetisi. Mengapa tidak bisa di selesaikan ? mungkin kita
bisa tanyakan kepada Djoko Driyono - pengelola liga super Indonesia -
yang saat itu menjadi Sekertaris KN dan ex-officio menjalankan fungsi
Sekretaris Jenderal.
Bom
Waktu yang lain adalah menyusupkan kaki tangan di dalam barisan
perubahan untuk kemudian menjadi sel yang berada di dalam yang dapat
diaktifkan pada saatnya untuk melakukan serangan mematikan.
PSSI baru dibawah Djohar Arifin ketika memulai pembenahan dengan
melakukan pembenahan di dalam rumah, terutama ketika akan menerapkan
standar profesional yang benar sesuai dengan standar AFC bagi klub di
Indonesia tapi kemudian terjadi langkah - langkah kompromistis yang
dilakukan oleh beliau dengan kekuatan lama dengan nama pengurus klub,
exco dan pengda.
Ada
kesalahan yang sebenarnya dilkukan oleh para Angota Normalisasi dan
sampai saat ini menjadi momok menakutkan bagi pengurus didaerah yakni
poin yang menuntaskan kompetisi LPI sampai saat ini belum terselesaikan
oleh pak Agum dkk. Kelompok-kelompok didaerah ini takut akan perpecahan
tim yg telah dibinanya puluhan tahun silam semisal Arema, Persija, PSMS,
dan Persebaya. Tugas yg belum tuntas yaitu Menempatkan Liga Primer
Indonesia ( LPI ) di bawah kendali PSSI atau membubarkannya. Ini tak
pernah ada keputusan dari Tim Normalisasi sampai saatnya para punggawa
LPI berkuasa di PSSI.
Kini
Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Nugraha Besus dan Andi Darussalam tidak
lagi di PSSI, akan tetapi kekisruhan kini berlanjut. Awal kekisruhan ini
ketika di pecatnya Alfreed Rield secara sepihak oleh PSSI dari pelatih
Timnas yang digantikan oleh Wim R pelatih yang mengarsiteki PSM di
kompetisi LPI. Kemudian berlanjut pada penetapan jumlah peserta ISL
2011-2012. 18 lalu 36 kemudian 24 dengan menambah 6 tim dengan alasan
yang boleh jadi tidaklah relefan. Kemudian mengganti ISL menjadi IPL ( Rekakarnasi LPI ) demikian PT
LI menjadi PT LPIS sebagai pengganti pengelola kompetisi dibawah
naungan PSSI. Inilah pemicu terpecahnya K78 dimana sebagian besar dari
mereka tetap menginginkan ISL, PT LI dan 18 tim sesuai hasil kongres
bali 2010.
Diumumkannya
oleh PSSI untuk tidak mengisinkan menempatkan pemain Timnas yang
berlaga di ISL memicu kontroversi Mundurnya pelatih muda Rahmat Darmawan
( RD ) yang pernah membawa Sriwijaya Fc dan Persipura memuncaki Super
Liga Indonesia untuk meng-arsiteki Timnas U23.
jadi
ke mana sebetulnya olahraga sepakbola Indonesia akan dibawa oleh [untuk
sementara] Keluarga Bakrie dan Keluarga Arifin? Mengapa misalnya,
mereka tidak memilih arena lain untuk saling menembakkan senjata
kepentingan politik mereka ketimbang merusak semangat dan antusiasme
sebagian besar dari orang Indonesia yang mencintai dan mendukung Timnas?
Benar,
olahraga sepakbola di dunia adakalanya tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan politik. Tapi yang dipertontonkan oleh Keluarga Arifin dan
Keluarga Bakrie dalam olahraga sepakbola Indonesia belakangan ini,
sungguh sudah tidak menarik karena yang terbaca kemudian adalah mereka
hanya meneruskan perseteruan pribadi menjadi perseteruan publik.
Bila
terlihat dari kacamata pribadi Keluarga Bakrie masih lebih proaktif
dalam kecintaan mereka di dunia sepak bola dengan merangkul club luar
neegeri dan juga program SAD-nya ketimbang Arifin P dengan liga medsco Yunior dan lebih memilih
bermanufer dilingkup PSSI dalam negeri yang sudah barang tentu akan
mendapatkan perlawanan dari orang orang yg tidak sepaham dengan konsep
satu sponsor alis Konsorsium atau Arifin Panigara Bagi Duit ( APBD-nya
Arifin P). Nafsu dan kepentingan politik mereka, apa boleh harus disebut
menjijikkan . ? Padahal kalau mereka mau, mereka bisa membesarkan
olahraga sepakbola bersama-sama. Tanpa kepentingan apapun hingga mimpi
sebagian besar dari kita untuk menempatkan Timnas di Piala Dunia menjadi
kenyataan.